NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
A. Narkotika
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi disisi lain sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama misalnya ketergantungan obat.
Juga menanam, menyimpan, mengimpor, memproduksi, mengedarkan dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah suatu kejahatan karena sangat merugikan dan menimbulkan bahaya yang sangat besar. Kejahatan narkotika saat ini telah bersifat transnasional / internasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi tinggi dan teknologi canggih, oleh karena itu, UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi, maka perlu dibuat UU baru tentang Narkotika, yaitu UU no. 22 th 1997.
Pengertian
Beberapa istilah penting yang perlu diketahui dalam UU RI No. 22 Th 1997 antara lain :
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
2. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
3. Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
4. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.
5. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
6. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
Pengaturan
1. Pengaturan narkotika bertujuan untuk :
Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan
Memberantas peredaran gelap narkotika.
2. Narkotika hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.
Penggolongan
Berdasarkan UU RI No. 22 Th 1997, narkotika dibagi atas 3 golongan :
1. Golongan I
Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh terdiri dari 26 macam, antara lain :
a. Tanaman Papaver somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
b. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
c. Opium masak terdiri dari :
candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
Jicing, sisa – sisa candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
d. Tanaman koka seperti Erythroxylon coca, semua tanaman dari genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
e. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxlyon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
f. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
g. Kokaina, metil ester-I-bensoil ekgonina.
h. Tanaman ganja (Cannabis indica), semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hashis.
i. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
j. Delta 9 tetrahidrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya.
k. Asetorfina
l. Etorfina
m. Heroina
n. Tiofentanil
2. Golongan II
Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya : morfin, petidin, metadon
3. Golongan III
Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contohnya : Codein
Penyimpanan dan Pelaporan
1. Penyimpanan
Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
Pabrik farmasi, importir dan PBF yang menyalurkan narkotika harus memiliki gudang khusus untuk menyimpan narkotika dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Dinding terbuat dari tembok dan hanya mempunyai satu pintu dengan dua buah kunci yang kuat dengan merk yang berlainan.
b. Langit-langit dan jendela dilengkapi dengan jeruji besi.
c. Dilengkapi dengan lemari besi yang beratnya tidak kurang dari 150 kg serta harus mempunyai kunci yang kuat.
Apotek dan rumah sakit harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Harus terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat (tidak boleh terbuat dari kaca)
b. Harus mempunyai kunci yang kuat
c. Dibagi dua bagian, masing-masing dengan kunci yang berlainan.
Bagian pertama untuk menyimpan morfina, petidina serta persediaan narkotika, sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
2. Pelaporan
Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan dan penyimpan laporan berkala, pemasukan dan / atau pengeluaran narkotika.
Laporan dibuat secara rutin setiap bulan oleh pabrik, PBF, apotek dan rumah sakit yang dikirimkan/ditujukan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan Kotamadya/ Kabupaten / Dati II dengan tembusan kepada :
Kepala BPOM setempat
Kepala Dinas Kesehatan Tingkat Provinsi
Arsip ybs.
Bentuk laporan narkotika sebagai berikut :
LAPORAN PEMAKAIAN NARKOTIKA
Nama apotek :
Bulan :
No. izin apotek :
Tahun :
Alamat :
No. telpon :
Peredaran
1) Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
2) a). Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan (sekarang Badan POM).
b). Narkotika golongan II dan III yang berupa bahan baku baik alamiah maupun sintetis dapat diedarkan oleh pihak yang berhak tanpa wajib daftar.
Penyaluran
Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah dapat melakukan kegiatan penyaluran narkotika sesuai ketentuan dalam UU.
Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah harus memiliki izin khusus penyaluran narkotika.
1. Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik obat tertentu atau PBF tertentu.
2. Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada eksportir, PBF tertentu, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu , rumah sakit dan lembaga ilmu pengetahuan tertentu.
3. Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pedagang besar farmasi tertentu lainnya, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, rumah sakit, lembaga ilmu pengetahuan tertentu dan eksportir
4. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan pemerintah tertentu.
5. Narkotika golongan I hanya dapat disalurkan kepada pabrik obat tertentu dan / atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Penyerahan
1. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter.
2. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter dan pasien.
3. Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal:
menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan
menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan atau
menjalankan tugas didaerah terpencil yang tidak ada apotek
Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pemusnahan
Pemusnahan narkotika dilakukan apabila :
1. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan / atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi.
2. Kadaluarsa
3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan / atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan atau ;
4. Berkaitan dengan tindak pidana.
Pemusnahan narkotika dilaksanakan oleh orang atau badan yang bertanggung-jawab atas produksi dan peredaran narkotika yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang dan membuat Berita Acara Pemusnahan yang memuat antara lain ;
hari, tanggal, bulan dan tahun
nama pemegang izin khusus (APA/Dokter)
nama saksi (1 orang dari pemerintah dan 1 orang dari badan/instansi ybs)
nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan
cara pemusnahan
tanda tangan penanggung jawab apotik/pemegang izin khusus/dokter pemilik narkotik dan saksi-saksi.
Ketentuan Pidana
Bagi pihak-pihak yang melanggar UU Narkotika akan mendapat sanksi pidana sesuai dengan kesalahannya.
Contoh :
1. Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman ;
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000.
- Bila narkotika golongan II maka pidananya paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000.
- Bila golongan III, maka pidana penjaranya paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000.
2. Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.
b. Bila narkotika golongan II, maka pidananya 15 tahun dan denda Rp. 500 juta rupiah.
c. Bila golongan III, maka pidananya 7 tahun dan denda 200 juta rupiah.
3. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000. Bila golongan II maupun III, maka pidananya pun berbeda.
4. Demikian juga bila menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, bila golongan II lamanya 2 tahun, sedangkan golongan III dipidana 1 tahun.
5. Sedangkan juga dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah bagi :
a. Pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotek dan dokter yang mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
b. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
c. Pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
d. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
B. Psikotropika
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, sehingga ketersediaannya perlu dijamin. Tetapi penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa sehingga dapat mengancam ketahanan nasional. Juga dengan makin pesatnya kemajuan iptek, transportasi, komunikasi dan informasi telah mengakibatkan gejala peredaran gelap psikotropika yang makin meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu dipandang perlu ditetapkan UU tentang Psikotropika yaitu UU RI No. 5 tahun 1997.
Pengertian
Berdasarkan UU RI No. 5 Th 1997 psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah atau sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Pengaturan
1. Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
c. memberantas peredaran gelap psikotropika.
2. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau ilmu pengetahuan.
3. Psikotropika Golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan.
Penggolongan
Menurut UU RI No. 5 Th 1997, psikotropika dibagi menjadi 4 golongan :
1. Golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika Golongan I terdiri dari 26 macam, antara lain Lisergida (LSD), MDMA (Metilen Dioksi Meth Amfetamin), Meskalina, Psilosibina, Katinona.
2. Golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika Golongan II terdiri dari 14 macam, antara lain Amfetamina, Metakualon, Sekobarbital, Metamfetamin, Fenmetrazin.
3. Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika Golongan III terdiri dari 9 macam, antara lain Amobarbital, Flunitrazepam, Pentobarbital, Siklobarbital, Katina
4. Golongan IV, berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika Golongan IV terdiri dari 60 macam, antara lain Allobarbital, Barbital, Bromazepan, Diazepam, Fencamfamina, Fenobarbital, Flurazepam, Klobazam, Klordiazepoksida, Meprobamat, Nitrazepam, Triazolam.
Peredaran
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar di Depkes RI (sekarang Badan POM)
1. Penyaluran
a. Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, PBF dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah (SPSFP).
b. PBF hanya dapat menyalurkan psikotropika kepada PBF lain, apotek, SPSFP, rumah sakit, lembaga penelitian dan / atau lembaga pendidikan.
c. SPSFP hanya dapat menyalurkan psikotropika kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas, BP pemerintah
d. Psikotropika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan PBF kepada lembaga penelitian dan / atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan.
e. Psikotropika yang dapat digunakan untuk ilmu pengetahuan hanya dapat
disalurkan oleh pabrik obat dan PBF kepada lembaga penelitian dan / atau lembaga pendidikan.
Diimpor langsung oleh lembaga penelitian dan / atau lembaga pendidikan.
2. Penyerahan
a. Penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, Balai Pengobatan dan dokter.
b. Apotek hanya dapat menyerahkan psikotropika kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, dokter, pengguna / pasien
c. Rumah sakit, BP & puskesmas hanya dapat menyerahkan kepada pengguna / pasien.
d. Apotek, rumah sakit, BP & puskesmas menyerahkan psikotropika berdasarkan resep dokter.
e. Dokter menyerahkan psikotropika dalam hal menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat, menjalankan tugas didaerah terpencil yang tidak ada apotek.
Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pemusnahan
Pemusnahan dilaksanakan dalam hal :
berhubungan dengan tindak pidana
diproduksi tanpa memenuhi standar
kadaluarsa
tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan / atau ilmu pengetahuan.
Pemusnahan psikotropika dilaksanakan oleh orang atau badan yang bertanggung-jawab atas produksi dan peredaran psikotropika yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang dan membuat Berita Acara Pemusnahan yang memuat antara lain ;
1. hari, tanggal, bulan dan tahun
2. nama pemegang izin khusus (APA/Dokter)
3. nama saksi (1 orang dari pemerintah dan 1 orang dari badan/instansi ybs)
4. nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan
5. cara pemusnahan
6. tanda tangan penanggung jawab apotik/pemegang izin khusus/dokter pemilik psikotropika dan saksi-saksi.
Ketentuan Pidana
1. Setiap pelanggaran terhadap UU Psikotropika mendapat sanksi pidana maupun denda, misalnya :
a. Barang siapa yang :
menggunakan / mengimpor psikotropika golongan I selain untuk ilmu pengetahuan,
memproduksi / menggunakan psikotropika golongan I,
tanpa hak memiliki, menyimpan, membawa psikotropika golongan I maka dipidana penjara minimal 4 tahun, maksimal 15 tahun dan pidana denda minimal Rp. 150 juta, maksimal Rp. 750 juta.
b. Barang siapa yang :
memproduksi psikotropika selain yang telah ditetapkan,
memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang tidak memenuhi standar dan yang tidak terdaftar maka dipidana penjara maksimal 15 tahun dan pidana denda maksimal Rp. 200 juta.
c. Barang siapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100 juta.
2. Pidana penjara dan pidana denda dijatuhkan kepada macam-macam pelanggaran psikotropika dengan ancaman hukuman paling ringan penjara 1 tahun dan denda Rp. 60 juta.
3. Tindakan pidana di bidang psikotropika adalah suatu kejahatan.
C. Lain-Lain
Prekursor
1. Prekursor Narkotika (Kepmenkes No. 890/1998)
Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Jenis prekursor narkotika adalah anhidrida asam asetat, aseton, asam klorida, asam sulfat, etil eter, kalium permanganat, metil etil keton dan toluene.
2. Prekursor Psikotropika (Kepmenkes No. 917/1997)
Prekursor psikotropika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan psikotropika. Jenis prekursor psikotropika yaitu asam N asetil antranilat, efedrin, ergometrin, ergotamin, isosafrol , asam lisergat, 3,4 metilen dioksi fenil propanon, 1-fenil-2-propanon, piperonal, pseudo efedrin dan safrol.
Perbedaan dan Persamaan Narkotika dan Psikotropika
|
Psikotropika
|
Narkotika
|
Persamaan
|
Sama-sama bekerja secara selektif pada susunan syaraf pusat
|
Perbedaan
|
Psikoaktif
|
Adiksi/ ketergantungan
|
Efek utama
|
Terhadap aktifitas mental dan prilaku
|
Penurunan / perubahan kesadaran, Hilangnya rasa, mengurangi nyeri
|
Terapi
|
Gangguan psikiatrik
|
Analgesik, antitusif, anti-spasmodik, premedikasi anaestesi
|
|
|
|
|